-->

Selamat Datang Kawan Di Blognya Andi Purwanto


Dimulai dari Desember 2012. Harapannya semoga apa yang tertulis ada manfaatnya, pribadi maupun pembaca. Amin.


26 December 2012

Jangan Salah Persepsi

Indonesia itu hebat ternyata. Penuh warna dan beraneka macam isinya. Ibarat majalah, Indonesia itu full colour. Ibarat permen, rasanya bagaikan permen nano-nano yang manis asem asin rame rasanya. Ibarat rokok, citarasa tembakaunya itu khas, perpaduan tembakau pilihan dan cengkeh serta menyannya. Seperti itulah kira-kira gambaran Indonesia. Sebuah negeri yang tersusun oleh berbagai macam suku dan kelompok masyarakat, banyak kepercayaan dan agama dimana kesemuanya itu berjalan beriringan dan saling menghormati satu sama lain. Toleransi itu sangat tinggi di negara ini, sebenarnya. Tadi di Facebook ada teman yang nulis status seperi ini:

  • A :"Bagaimana Natalmu?"
  • B :"Baik, kau tidak mengucapkan Selamat Natal padaku?" 
  • A :"Tidak. Agama kami menghargai toleransi antar agama, termasuk kepada agamamu. Tapi masalah ini, agamaku melarangnya."
  • B:"Tapi kenapa? Bukankah hanya sekedar kata-kata?! Teman Muslimku yang lain mengucapkannya padaku."
  • A :"Mungkin mereka belum mengetahuinya. Oya, bisakah kau mengucapkan dua kalimat syahadat?!"
  • B :"Oh bisa, tapi aku tidak akan mengucapkannya. Itu akan mengganggu kepercayaanku."
  • A :"Kenapa? Bukankah itu hanya kata-kata?! Ayo, ucapkanlah."
  • B :"Baiklah, sekarang aku mengerti alasanya..." 

Jangan salah paham, itulah toleransi. Saling menghargai satu sama lain. Indahnya Indonesiaku.

read more

History of Hometown, Purworejo


Purworejo adalah kota kecil disebelah barat kota Yogyakarta. Sebuah kota yang indah dan sejuk seperti slogannya PURWOREJO BERIRAMA (BERsih Indah RApi  Aman dan MAkmur).
Dan aku bangga menjadi salah satu bagian darinya.
Berikut ini adalah sekilas tentang sejarah Purworejo. Artikel ini saya kutip dari teman saya, Mas Suryo Kurniadi.
Hamparan wilayah yang subur di Jawa Tengah Selatan antara Sungai Progo dan Cingcingguling sejak jaman dahulu kala merupakan kawasan yang dikenal sebagai wilayah yang masuk Kerajaan Galuh. Oleh karena itu menurut Profesor Purbocaraka, wilayah tersebut disebut sebagai wilayah Pagaluhan dan kalau diartikan dalam bahasa Jawa, dinamakan : Pagalihan. Dari nama “Pagalihan” ini lama-lama berubah menjadi : Pagelen dan terakhir menjadi Bagelen.
Di kawasan tersebut mengalir sungai yang besar, yang waktu itu dikenal sebagai sungai Watukuro. Nama “ Watukuro “ sampai sekarang masih tersisa dan menjadi nama sebuah desa terletak di tepi sungai dekat muara, masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Di kawasan lembah sungai Watukuro masyarakatnya hidup makmur dengan mata pencaharian pokok dalam bidang pertanian yang maju dengan kebudayaan yang tinggi.
Pada bulan Asuji tahun Saka 823 hari ke 5, paro peteng, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Mrgasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal    5 Oktober 901 Masehi, terjadilah suatu peristiwa penting, pematokan Tanah Perdikan (Shima). Peristiwa ini dikukuhkan dengan sebuah prasasti batu andesit yang dikenal sebagai prasasti Boro Tengah atau Prasasti Kayu Ara Hiwang.
Prasasti yang ditemukan di bawah pohon Sono di dusun Boro tengah, sekarang masuk wilayah desa Boro Wetan Kecamatan Banyuurip dan sejak tahun 1890 disimpan di Museum Nasional Jakarta Inventaris D 78 Lokasi temuan tersebut terletak di tepi sungai Bogowonto, seberang Pom Bensin Boro.
Dalam Prasasti Boro tengah atau Kayu Ara Hiwang tersebut diungkapkan, bahwa pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi, telah diadakan upacara besar yang dihadiri berbagai pejabat dari berbagai daerah, dan menyebut-nyebut nama seorang tokoh, yakni : Sang Ratu Bajra, yang diduga adalah Rakryan Mahamantri/Mapatih Hino Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaya atau Daksa yang di identifikasi sebagai adik ipar Rakal Watukura Dyah Balitung dan dikemudian hari memang naik tahta sebagai raja pengganti iparnya itu.

Pematokan (peresmian) tanah perdikan (Shima) Kayu Ara Hiwang dilakukan oleh seorang pangeran, yakni Dyah Sala (Mala), putera Sang Bajra yang berkedudukan di Parivutan.
Pematokan tersebut menandai, desa Kayu Ara Hiwang dijadikan Tanah Perdikan(Shima) dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, namun ditugaskan untuk memelihara tempat suci yang disebutkan sebagai “parahiyangan”. Atau para hyang berada.
Dalam peristiwa tersebut dilakukan pensucian segala sesuatu kejelekan yang ada di wilayah Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah Watu Tihang.
“ … Tatkala Rake Wanua Poh Dyah Sala Wka sang Ratu Bajra anak wanua I Pariwutan sumusuk ikanang wanua I Kayu Ara Hiwang watak Watu Tihang …”
Wilayah yang dijadikan tanah perdikan tersebut juga meliputi segala sesuatu yang dimiliki oleh desa Kayu Ara Hiwang antara lain sawah, padang rumput, para petugas (Katika), guha, tanah garapan (Katagan), sawah tadah hujan (gaga).
Disebut-sebutnya “guha” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang tersebut ada dugaan, bahwa guha yang dimaksud adalah gua Seplawan, karena di dekat mulut gua Seplawan memang terdapat bangunan suci Candi Ganda Arum, candi yang berbau harum ketika yoninya diangkat. Sedangkan di dalam gua tersebut ditemukan pula sepasang arca emas dan perangkat upacara. Sehingga lokasi kompleks gua Seplawan di duga kuat adalah apa yang dimaksud sebagai “parahyangan” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang.
Upacara 5 Oktober 901 M di Boro Tengah tersebut dihadiri sekurang-kurangnya 15 pejabat dari berbagai daerah, antara lain disebutkan nama-nama wilayah : Watu Tihang (Sala Tihang), Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan), Mantyasih (Meteseh Magelang), Mdang, Pupur, Taji (Taji Prambanan) Pakambingan, Kalungan (kalongan, Loano).
Kepada para pejabat tersebut diserahkan pula pasek-pasek berupa kain batik ganja haji patra sisi, emas dan perak. Peristiwa 5 Otober 901 M tersebut akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1994 dalam sidang DPRD Kabupaten Purworejo dipilih dan ditetapkan untuk dijadikan Hari jadi Kabupaten Purworejo. Normatif, historis, politis dan budaya lokal dari norma yang ditetapkan oleh panitia, yakni antara lain berdasarkan pandangan Indonesia Sentris.
Perlu dicatat, bahwa sejak jaman dahulu wilayah Kabupaten Purworejo lebih dikenal sebagai wilayah Tanah Bagelen. Kawasan yang sangat disegani oleh wilayah lain, karena dalam sejarah mencatat sejumlah tokoh. Misalnya dalam pengembangan agama islam di Jawa Tengah Selatan, tokoh Sunan Geseng diknal sebagai muballigh besar yang meng-Islam-kan wilayah dari timur sungai Lukola dan pengaruhnya sampai ke daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupatn Magelang.
Dalam pembentukan kerajaan Mataram Islam, para Kenthol Bagelen adalah pasukan andalan dari Sutawijaya yang kemudian setelah bertahta bergelar Panembahan Senapati. Dalam sejarah tercatat bahwa Kenthol Bagelen sangat berperan dalam berbagai operasi militer sehingga nama Begelen sangat disegani.
Paska Perang Jawa, kawasan Kedu Selatan yang dikenal sebagai Tanah Bagelen dijadikn Karesidenan Bagelen dengan Ibukota di Purworejo, sebuah kota baru gabungan dari 2 kota kuno, Kedungkebo dan Brengkelan.
Pada periode Karesidenan Begelen ini, muncul pula tokoh muballigh Kyai Imam Pura yang punya pengaruh sampai ke Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hampir bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh Kyai Sadrach, penginjil Kristen plopor Gereja Kristen Jawa (GKJ).
Dalam perjalanan sejarah, akibat ikut campur tangannya pihak Belanda dalam bentrokan antara para bangsawan kerajaan Mataram, maka wilayah Mataram dipecah mejadi dua kerajaan. Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Tanah Bagelen akibat Perjanjian Giyanti 13 pebruari 1755 tersebut sebagai wilayah Negara Gung juga dibagi, sebagian masuk ke Surakarta dan sebagian lagi masuk ke Yogyakarta, namun pembagian ini tidak jelas batasnya sehingga oleh para ahli dinilai sangat rancu diupamakan sebagai campur baur seperti “rujak”.
Dalam Perang Diponegoro abad ke XIX, wilayah Tanah Bagelen menjadi ajang pertempuran karena pangeran Diponegoro mndapat dukungan luas dari masyarakat setempat. Pada Perang Diponegoro itu, wilayah Bagelen dijadikan karesidenan dan masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda dengan ibukotanya Kota Purworejo. Wilayah karesidenan Bagelen dibagi menjadi beberapa kadipaten, antara lain kadipaten Semawung (Kutoarjo) dan Kadipaten Purworejo dipimpin oleh Bupati Pertama Raden Adipati Cokronegoro Pertama. Dalam perkembangannya, Kadipaten Semawung (Kutoarjo) kemudian digabung masuk wilayah Kadipaten Purworejo.
Dengan pertimbangan strategi jangka panjang, mulai 1 Agustus 1901, Karesienan Bagelen dihapus dan digabungkan pada karesidenan kedu. Kota Purworejo yang semula Ibu Kota Karesidenan Bagelen, statusnya menjadi Ibukota Kabupaten.
Tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia belanda merubah administrasi pemerintah di Kedu Selatan, Kabupaten Karanganyar dan Ambal digabungkan menjdi satu dengan kebumen dan menjadi Kabupaten kebumen. Sedangkan Kabupaten Kutoarjo juga digabungkan dengan Purworejo, ditambah sejumlah wilayah yang dahulu masuk administrasi Kabupaten Urut Sewu/Ledok menjadi Kabupaten Purworejo. Sedangkan kabupaten Ledok yang semula bernama Urut Sewu menjadi Kabupaten Wonosobo.
Dalam perkembangan sejarahnya Kabupaten Purworejo dikenal sebagai pelopor di bidang pendidikan dan dikenal sebagai wilayah yang menghasilkan tenaga kerja di bidang pendidikan, pertanian dan militer.
Tokoh-tokoh yang muncul antara lain WR Supratman Komponis lagu Kebangsaan “Indonesia raya”. Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal A. Yani, Sarwo Edy Wibowo dan sebagainya.
Para tokoh maupun tenaga kerja di bidang pertanian pendidikan, militer, seniman dan pekerja lainnya oleh masyarakat luas di tanah air dikenal sebagai orang-orang Bagelen, nama kebangsaan dan yang disegani baik di dalam maupun di luar negeri.

(Sumber: Buku POTENSI WISATA PURWOREJO – Yayasan Arahiwang Purworejo Jakarta).

read more

Menyambut hari baru

Empat hari dimuka, 2012 akan berlalu seiring dengan kehadiran 2013. Satu bulan yanng lalu 1433 juga sudah pergi dan sekarang posisinya digantikan oleh 1434. Perjalanan bulan dan perjalanan matahari.
Perputaran waktu dalam satu tahun tidak begitu terasa karena padatnya kegiatan setiap harinya. Seolah-olah baru kemarin tahun 1434H dan 2012 menyapa dan sekarang mereka beranjak pergi. Tidak terasa pula yang semula kecil beranjak besar, anak-anak beranjak dewasa, yang dewasa beranjak tua, dan generasi tua semakin habis ditarik Izroil.
Menengok ke belakang, dalam waktu satu tahun ini terjadi berbagai macam hal yang menarik, dan semoga akan lebih menarik lagi di tahun depan. 2013 penuh senyuman dan 2012 melambaikan tangan.
Ada masalah yang selesai, ada pula yang semakin larut dan berkepanjangan. Ada yang peduli dan ada pula yang acuh. Semua bercampur menjadi satu adonan dengan citarasa bagaikan permen "nano-nano", mainis asem asin, rame rasanya.
Di ujung 2012 ini yang paling menarik adalah keresahan masyarakan akibat isu akan datangnya kiamat di akhir 2012 ini. Orang-orang diseluruh dunia ramai memperbincangkannya. Lucu juga kedengarannya, ada sekelompok orang yang bisa memprediksikan akan datangnya hari kiamat dan yang lebih anehnya lagi, ada orang yang repot-repot membuat sebuah ruang rahasia/tersembunyi dibawah tanah dan menyimpan makanan dan kebutuhan lainnya untuk jangka waktu yang lama, menyambut kiamat kalau kata mereka. Kalau dipikir dengan nalar, kiamat itu adalah akhir dari alam semesta. Jadi apa gunanya menimbun makanan dan sarana kehidupan seperti itu? Toh nanti semuanya juga akan ikut hancur dan musnah.Seharusnya kalau yakin dan sadar kalau hari kiamat itu sudah dekat, yang ditimbun itu amal ibadah, bukan makanan. Di akhirat yang dibutuhkan bukan seberaa banyak makanan yang dibawa, tapi berapa banyak amal ibadah yang sudah dikumpulkan. Sudah tahu kiamat akan datang dan semakin dekat, tapi masjid-masjid dan mushola masih sepi-sepi saja tuh. Aneh,.
Ada juga ramalan yang mengatakan bahwa bumi akan mengalami gelap selama tiga hari karena planet-planet sejajar satu sama lain. Tapi tidak pernah terjadi apa yang disebutkan dalam ramalan itu. Kurang jitu peramalnya.
Semoga ditahun depan hal-hal semacam itu tidak terjadi lagi. Kemajuan di segala bidang segera terjadi. Korupsi ditubuh pemerintahan dapat diberantas dan menjadi negara yang sehat lahir dan batinnya. Amin



read more